Minggu, 11 September 2011

Pemujaan Bertahap


Yanti devavrataa devan
pitrn yanti pitrvrataah
bhutaaani yanti bhutejyaa
yanti madyaajino''pi maam.
(Bhagawad Gita IX. 25).

Artinya:
Penyembahan Deva-Deva akan sampai pada dewa, penyembahan leluhur akan sampai pada leluhur, penyembahan Bhuta akan sampai pada Bhuta. Mereka yang menyembah-Ku akan sampai pada-Ku.

SLOKA Bhagawad Gita ini sering menimbulkan salah pengertian. Seakan-akan umat Hindu, hanya menyembah Bhuta, atau menyembah leluhur, menyembah Dewa saja, atau menyembah Tuhan saja. Sistem penyembahan yang terpisah-pisah demikian itu tidak ada dalam pengamalan agama Hindu baik dalam tradisi Hindu di India maupun dalam tradisi Hindu di Indonesia.

Ini artinya dalam sistem pemujaan Hindu antara menyembah Bhuta, Pitra, Deva dan Brahmana (Tuhan) bukan merupakan sesuatu yang dikotomis atau sesuatu yang bertentangan. Hal itu tidak bermaksud kalau menyembah Tuhan bukan berarti dilarang menyembah Bhuta, Pitra dan Deva. Bhuta dalam pengertian ini bukanlah berarti setan, jin atau roh-roh jahat. Bhuta itu adalah alam ciptaan Tuhan yang dibangun dengan lima unsur Bhuta. Lima unsur Bhuta itu disebut Panca Maha Bhuta (pertiwi, apah, teja, bayu, dan akasa). Melakukan komunikasi rohani dengan semuanya itu digunakan istilah yadnya.

Yadnya kepada Bhuta, Pitra, Deva dan Tuhan itu salah satu wujudnya dalam bentuk bhakti, atau puja. Istilah bhakti dan puja itu dalam Bahasa Jawa Kuna diterjemahkan menjadi kata Sembah. Kata sembah dalam kamus Bahasa Jawa Kuna memiliki lima arti atau pengertian. Sembah berarti menyayangi atau mengasihi, menghormati, memohon, menyerahkan diri dan menyatukan diri.

Menyembah bhuta tentunya tidak seperti menyembah Tuhan dengan menyerahkan diri secara total. Menyembah bhuta artinya menyayangi atau mengasihi bhuta atau alam lingkungan dalam wujud bhuta yadnya. Menyembah bhuta, bukan berarti menyerahkan diri pada bhuta seperti menyembah Tuhan. Dalam Sarasamuscaya 135 disebutkan untuk menegakkan tujuan hidup mencapai dharma, artha, kama dan moksha terlebih dahulu harus melakukan bhuta hita. Bhuta hita artinya mensejahterakan alam. Manusia bisa hidup dari yadnya bhuta atau alam. Karena itu manusia wajib melakukan yadnya pada Bhuta. Karena itu dalam Lontar Panca Sembah dinyatakan menyembah Bhuta dengan mencakupkan tangan di pusar, bukan di atas ubun-ubun seperti menyembah Tuhan. Sikap menyembah ini melambangkan sikap untuk membangun kasih sayang pada alam lingkungan, yang disebut panca maha bhuta. Demikian juga menyembah leluhur (dewa pitara).

Menyembah leluhur yang telah suci dinyatakan dengan tegas dalam kitab suci Rgveda dan juga kitab-kitab Sastra Veda lainnya. Dalam kitab Rgveda ada tidak kurang dari 12 mantra yang menyatakan tentang pemujaan Leluhur. Hal itu dinyatakan dalam kitab Rgveda Mandala X, Sukta 15 dari mantra 1 sampai dengan Mantra 12.

Apalagi dalam kitab Manwa Dharmasastra banyak sekali sloka-sloka yang mengajarkan tentang pemujaan leluhur. Pemujaan leluhur banyak dinyatakan dalam Adyaya III kitab Manawa Dharmasastra. Dalam lontar-lontar di Bali sistem pemujaan leluhur atau Dewa Pitara banyak sekali kita jumpai petunjuk tehnisnya. Karena itu tidaklah benar ada sementara orang yang beragama Hindu dari Sampradaya tertentu yang menyatakan Hindu atau kitab Suci Weda tidak mengenal bahkan dikatakan tidak membenarkan adanya pemujaan leluhur. Karena sangat jelas petunjuknya terdapat dalam kitab suci Weda dan kitab-kitab Sastranya.
Di samping itu, pemujaan leluhur itu sudah sangat mentradisi berabad-abad dalam tradisi Hindu di seluruh dunia. Demikian pula tentang pemujaan Deva sinar suci atau manifestasi Tuhan. Dalam kitab Manawa Dharmasastra III.205 dengan tegas dinyatakan bahwa pemujaan kepada Dewa sinar suci Tuhan dilakukan setelah pemujaan kepada leluhur (dewa Pitara). Jadi semua sistem pemujaan itu adalah pemujaan yang bertahap menuju pemujaan yang tertinggi yaitu pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan yang Mahakuasa.

Sistem pemujaan bertahap ini tentunya berlaku untuk umat Hindu secara umum. Kalau ada orang-orang suci seperti Maha Resi yang tingkatannya sudah tinggi dapat saja melakukan pemujaan hanya kepada Tuhan. Beragama itu merupakan privasi seseorang, tentunya dalam pelaksanaannya sangat tergantung pada tingkatan pemahamannya pada agama yang dianutnya. Tetapi janganlah menyatakan dalam Weda tidak ada petunjuk tentang pemujaan leluhur.

Balipost 21 Februari 2001

Tidak ada komentar:

Posting Komentar