Minggu, 25 September 2011

Hindu Agama Damai

Sesuai dengan arti salam/mantra Om Shanti Shanti Shanti Om yang artinya "Semoga Damai Atas Karunia-Nya", fakta sejarah menunjukkan, sepanjang sejarah umat manusia agama Hindu memang agama yang sangat menjunjung tinggi perdamaian dan persahabatan.
Penyebabnya yaitu, pertama, ada pengakuan bahwa Tuhan itu satu, tetapi disebut dengan banyak nama (Ekam sat vipra bahuda vadanti). Kedua, ada etika yang menyatakan jiwa manusia adalah sama, menyakiti orang lain sama dengan menyakiti diri sendiri (tat tvam asi), dan ketiga, semua makhluk adalah satu keluarga (vasudaiva kutumbakan). Perdamaian dalam agama Hindu tidak hanya berarti perdamaian sesama Hindu saja, tapi perdamaian dengan semua ciptaan-Nya tanpa membedakan SARA.
Tetapi perdamaian dalam Hindu bukan sama sekali melarang kekerasan, tapi mengatur penggunaan kekerasan itu. Seperti contohnya dalam kisah peperangan Mahabharata dan Ramayana. Dalam kenyataan hidup ini, memang ada kalanya harus menggunakan kekuatan kekerasan untuk mempertahankan diri atau bahkan demi mempertahankan "kedamaian" itu atau dalam istilah militer disebut "Peace Keeper". Contoh dalam kehidupan sehari-hari adalah saat kita dalam keadaan bahaya, seperti dirampok ataupun mengalami tindakan kriminal lainnya, kita harus melawan penjahat itu.
Menggunakan kekuatan untuk menjaga perdamaian, contohnya adalah pasukan UNIFIL di Lebanon.
Atau dalam contoh yang lebih luas adalah saat kemerdekaan Indonesia terancam direnggut asing pada awal-awal masa kemerdekaan Indonesia, seluruh bangsa Indonesia wajib mempertahankan kemerdekaan tanah air dengan segala daya upaya termasuk dengan kekerasan. Itu merupakan salah satu contoh berbhakti kepada ibu pertiwi. Atau pada saat perdamaian dunia terancam karena ulah sabuah negara yang ingin mengacaukan situasi, PBB akan mengirim kekuatannya untuk mempertahankan perdamaian dunia. Itu merupakan contoh kekerasan untuk mempertahankan kedamaian.
Perang Salib, Hindu tidak mengenal perang berdasarkan semangat keagamaan.
Tapi bukan berarti juga Hindu mengenal istilah perang suci (perang agama) seperti Jihad (Islam) atau Perang Salib (Kristen) untuk menyebarkan agama atau memusnahkan agama/ajaran lain yang dianggap musuh. Hindu tidak pernah menganggap agama/ajaran lain sebagai musuh. Jadi, kekerasan atas nama agama tidak diperbolehkan dalam Hindu.

Selasa, 20 September 2011

Penjor

Oleh : I Gede Manik, S.Ag (Badung)
Umat Hindu dari jaman dahulu sampai sekarang bahkan sampai nanti dalam menghubungkan diri dengan Ida Sanghyang Widi Wasa memakai symbol-simbol. Dalam Agama Hindu simbol dikenal dengan kata niasa yaitu sebagai pengganti yang sebenarnya. Bukan agama saja yang memakai simbol, bangsa pun memakai simbol-simbol. Bentuk dan jénis simbol yang berbeda namun mempunyai fungsi yang sama.

Dalam upakara terdiri dari banyak macam material yang digunakan sebagai simbol yang penuh memiliki makna yang tinggi, dimana makna tersebut menyangkut isi alam (makrokosmos) dan isi permohonan manusia kehadapan Ida Sanghyang Widi Wasa. Untuk mencapai keseimbangan dari segala aspek kehidupan seperti Tri Hita Karana.

Masyarakat di Bali sudah tidak asing lagi dengan penjor. Masyarakat mengenal dua (2) jenis penjor, antara lain Penjor Sakral dan Penjor hiasan. Merupakan bagian dari upacara keagamaan, misalnya upacara galungan, piodalan di pura-pura. Sedangkan pepenjoran atau penjor hiasan biasanya dipergunakan saat adanya lomba desa, pesta seni dll. Pepenjoran atau penjor hiasan tidak berisi sanggah penjor, tidak adanya pala bungkah/pala gantung, porosan dll. Penjor sakral yang dipergunakan pada waktu hari raya Galungan berisi sanggah penjor, adanya pala bungkah dan pala gantung, sampiyan, lamak, jajan dll.

Definisi Penjor menurut I.B. Putu Sudarsana dimana Kata Penjor berasal dari kata “Penjor”, yang dapat diberikan arti sebagai, “Pengajum”, atau “Pengastawa”, kemudian kehilangan huruf sengau, “Ny” menjadilah kata benda sehingga menjadi kata, “Penyor” yang mengandung maksud dan pengertian, ”Sebagai Sarana Untuk Melaksanakan Pengastawa”.
Umat Hindu di Bali pada saat hari raya Galungan pada umumnya membuat penjor. Penjor Galungan ditancapkan pada Hari Selasa/Anggara wara/wuku Dungulan yang dikenal sebagai hari Penampahan Galungan yang bermakna tegaknya dharma. Penjor dipasang atau ditancapkan pada lebuh didepan sebelah kanan pintu masuk pekarangan. Bila rumah menghadap ke utara maka penjor ditancapkan pada sebelah timur pintu masuk pekarangan. Sanggah dan lengkungan ujung penjor menghadap ke tengah jalan. Bahan penjor adalah sebatang bambu yang ujungnya melengkung, dihiasi dengan janur/daun enau yang muda serta daun-daunan lainnya (plawa). Perlengkapan penjor Pala bungkah (umbi-umbian seperti ketela rambat), Pala Gantung (misalnya kelapa, mentimun, pisang, nanas dll), Pala Wija (seperti jagung, padi dll), jajan, serta sanggah Ardha Candra lengkap dengan sesajennya. Pada ujung penjor digantungkan sampiyan penjor lengkap dengan porosan dan bunga. Sanggah Penjor Galungan mempergunakan Sanggah Ardha Candra yang dibuat dari bambu, dengan bentuk dasar persegi empat dan atapnya melengkung setengah lingkaran sehingga bentuknya menyerupai bentuk bulan sabit.

Tujuan pemasangan penjor adalah sebagai swadharma umat Hindu untuk mewujudkan rasa bakti dan berterima kasih kehadapan Ida Sanghyang Widi Wasa. Penjor juga sebagai tanda terima kasih manusia atas kemakmuran yang dilimpahkan Ida Sang Hyang Widi Wasa. Bambu tinggi melengkung adalah gambaran dari gunung yang tertinggi sebagai tempat yang suci. Hiasan yang terdiri dari kelapa, pisang, tebu, padi, jajan dan kain adalah merupakan wakil-wakil dari seluruh tumbuh-tumbuhan dan benda sandang pangan yang dikarunia oleh Hyang Widhi Wasa.

Penjor Galungan adalah penjor yang bersifat relegius, yaitu mempunyai fungsi tertentu dalam upacara keagamaan, dan wajib dibuat lengkap dengan perlengkapan-perlengkapannya.
Dilihat dari segi bentuk penjor merupakan lambang Pertiwi dengan segala hasilnya, yang memberikan kehidupan dan keselamatan. Pertiwi atau tanah digambarkan sebagai dua ekor naga yaitu Naga Basuki dan Ananta bhoga. Selain itu juga, penjor merupakan simbol gunung, yang memberikan keselamatan dan kesejahteraan. Hiasan-hiasan adalah merupakan bejenis-jenis daun seperti daun cemara, andong, paku pipid, pakis aji dll. Untuk buah-buahan mempergunakan padi, jagung, kelapa, ketela, pisang termasuk pala bungkah, pala wija dan pala gantung, serta dilengkapi dengan jajan, tebu dan uang.

Oleh karena itu, membuat sebuah penjor sehubungan dengan pelaksanaan upacara memerlukan persyaratan tertentu dalam arti tidak asal membuat saja, namun seharusnya penjor tersebut sesuai dengan ketentuan Sastra Agama, sehingga tidak berkesan hiasan saja. Sesungguhnya unsur-unsur penjor tersebut adalah merupakan symbol-simbol suci, sebagai landasan peng-aplikasian ajaran Weda, sehingga mencerminkan adanya nilai-nilai etika Agama. Unsur-unsur pada penjor merupakan simbol-simbol sebagai berikut:
- Kain putih yang terdapat pada penjor sebagai simbol kekuatan Hyang Iswara.
- Bambu sebagai simbol dan kekuatan Hyang Brahma.
- Kelapa sebagai simbol kekuatan Hyang Rudra.
- Janur sebagai simbol kekuatan Hyang Mahadewa.
- Daun-daunan (plawa) sebagai simbol kekuatan Hyang Sangkara.
- Pala bungkah, pala gantung sebagai simbol kekuatan Hyang Wisnu.
- Tebu sebagai simbol kekuatan Hyang Sambu.
- Sanggah Ardha Candra sebaga: simbol kekuatan Hyang Siwa.
- Upakara sebagai simbol kekuatan Hyang Sadha Siwa dan Parama Siwa.
Didalam Lontar “Tutur Dewi Tapini, Lamp. 26”, menyebutkan sebagai berikut :
 “Ndah Ta Kita Sang Sujana Sujani, Sira Umara Yadnva, Wruha Kiteng Rumuhun, Rikedaden Dewa, Bhuta Umungguhi Ritekapi Yadnya, Dewa Mekabehan Menadya Saraning Jagat Apang Saking Dewa Mantuk Ring Widhi, Widhi Widana Ngaran Apan Sang Hyang Tri Purusa Meraga Sedaging Jagat Rat, Bhuwana Kabeh, Hyang Siwa Meraga Candra, Hyang Sadha Siwa Meraga “Windhune”, Sang Hyang Parama Siwa Nadha, Sang Hyang Iswara Maraga Martha Upaboga, Hyang Wisnu Meraga Sarwapala, Hyang Brahma Meraga Sarwa Sesanganan, Hyang Rudra Meraga Kelapa, Hyang Mahadewa Meraga Ruaning Gading, Hyang Sangkara Meraga Phalem, Hyang Sri Dewi Meraga Pari, Hyang Sambu Meraga Isepan, Hyang Mahesora Meraga Biting (IB. PT. Sudarsana, 61; 03)
WHD No. 478 Nopember 2006.

http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=1150&Itemid=29

Pedoman Hidup (01)

 
samaḥ śatrau ca mitre ca tathā mānāpamānayoḥ
śītoṣṇasukhaduḥkheṣu samaḥ saṅgavivarjitaḥ ||12.18|
tulyanindāstutir maunī saṃtuṣṭo yena kenacit
aniketaḥ sthiramatir bhaktimān me priyo naraḥ ||12.19|

"12.18-19 Orang yang bersikap sama terhadap kawan dan musuh, seimbang dalam penghormatan dan penghinaan, panas dan dingin, suka dan duka, kemasyuran dan fitnah, selalu bebas dari pergaulan yang mencemarkan, selalu diam dan puas dengan segala sesuatu, yang tidak mempedulikan tempat tinggal apapun, mantap dalam pengetahuan dan tekun dalam bhakti-orang seperti itu sangat disayang Tuhan.".

Jumat, 16 September 2011

Canang, Bukan Sekedar Sajen

Canang adalah salah satu sarana sembahyang (banten) yang dipakai umat Hindu di Indonesia, terutama di Lombok dan Bali serta Jawa yang berupa serangkaian bunga berwadah janur. Bentu wadah yang terbuat dari janur pun beragam bentuknya, ada yang bulat, bersudut delapan dan ada yang persegi.

Di dalam kamus bahasa Jawa kata “canang” berarti sirih. Pada zaman Jawa Kuno, sirih adalah lambang penghormatan. Di mana setiap ada tamu berkunjung selalu disuguhkan sirih.

Selain terdiri dari bunga, canang juga terdiri dari porosan [komponen yang kurang menonjol] dan bija. Di dalam porosan terdapat daun sirih, kapur dan buah pinang. Sirih sebagai simbol pemujaan kepada Wisnu, kapur sebagai simbol permujaan terhadap Siwa dan buah pinang sebagai simbol pemujaan terhadap Brahma.

by: HINDUPEDIA

Kamis, 15 September 2011

Pura Jagadnata Banguntapan (Jogja), Tempat Pertapaan Hamengku Buwono II




Pura Jagadnata Banguntapan yang berlokasi di Jl. Pura No. 370 Banguntapan, Bantul, Yogyakarta ini adalah tempat pertapaan dari HB II yang kemudian bergelar Ki Banguntapa. Ki Banguntapan ini di yakini sebagai salah satu titisan dari Sabdopalon.

SEJARAH
Arsitektur Jawa

Padmasana
Pada tahun 1975 umat Hindu di kelurahan Banguntapan mulai merilis untuk pembangunan Pura ini, yang akhirnya berhasil membangun padmasana dan gedung persembahyangan. Pada Januari 1976, Persatuan Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kecamatan Banguntapan mengajukan permohonan izin penggunaan tanah kas desa seluas 720m persegi untuk Pura.
Kegiatan keagamaan




Perayaan Hari Raya Nyepi "rasa" Jogja
Tanggal 25 Mei 1976 Izin Hak Guna Pakai tanah kas desa untuk Pura Ps2 Klas V luas 760m persegi dari kelurahan yang dilanjutkan dengan membangun Gedong Kori dan pagar kanan kiri. Februari 1982 hingga Juni 1982 pembangunan terus dilanjutkan dan pada akhirnya Pura Banguntapan ditingkatkan statusnya menjadi Pura Pusat/Jagat Natha dengan nama Pura Jagatnatha Banguntapa.

dari berbagai sumber

Dang Hyang Nirartha/Dang Hyang Dwijendra/Pedanda Sakti Wawu Rawuh/Tuan Semeru

Tersebutlah seorang keturunan Brahmana (Brahmana wangsa) bernama Nirartha adik dari Dang Hyang Angsoka, putra dari dang Hyang Asmaranatha. Ketika Sang Nirartha sedang muda jejaka beliau mengambil istri, di Daha, putri dari Dang Hyang Panawaran yaitu golongan keturunan Bregu di geria Mas Daha bernama Ida Istri Mas. Setelah bersuami istri, Sang Nirartha dilantik (didiksa) oleh Dang Hyang Panawaran menjadi pendeta (Brahmana Janma) diberi gelar Dang Hyang Nirartha.
Ilustrasi Danghyang Niratha
Danghyang Nirartha/Danghyang Dwijendra atau yang juga dikenal dengan sebutan Pedanda Sakti Wawu Rauh (sebutan di Bali) dan Tuan Semeru (sebutan di Sumbawa) adalah seorang tokoh agama Hindu dari Jawa (Majapahit) dan seorang pengelana Hindu abad ke-16 Masehi. Danghyang Niratha bertanggung jawab dalam mempermudah pembentukan kembali agama Hindu di Bali, Lombok dan Sumbawa . Ia merupakan serorang pelopor pendapat akan moksha di Indonesia.

MENYINGKIR DARI PENGARUH ISLAM

Kehidupan masyarakat di Jawa saat itu sangat kacau balau, karena di sana-sini terjadi perkelahian-perkelahian dan pertempuran-pertempuran, penumpasan-penumpasan yang sangat mengerikan dan menyedihkan di antara orang-orang Jawa yang telah masuk agama Islam dengan orang-orang Jawa yang masih taat mempertahankan agama lamanya.
 

Akhirnya ‘kalah’ agama lama dengan Islam. Orang-orang Jawa yang masih taat dengan agama lamanya yaitu agama yang diwariskan oleh leluhurnya, terutama orang-orang Majapahit, banyak pindah antara lain ke Pasuruan, ke pegunungan Tengger, ke Brambangan (Banyuwangi), dan ada yang menyeberang ke Bali.

Ketika itulah Dang Hyang Nirartha turut pindah dari Daha ke Pasuruan disertai oleh dua orang putra-putrinya, sedang istrinya tidak disebutkan turut ke Pasuruan. Setelah berselang beberapa tahun lamanya di Pasuruan, maka Dang Hyang Nirartha mengambil istri pula, yaitu seorang wanita yang terhitung saudara sepupu olehnya, putri dari Dang Hyang Panawasikan bernama Ida Istri Pasuruan, dengan nama sanjungan disebut Diah sanggawati (seorang wanita yang sangat menarik dalam pertemuan) karena cantiknya. Perkawinan ini menghasilkan dua orang putra laki-laki, yaitu yang sulung diberi nama Ida Wayahan Lor atau Manuaba. Manuaba (mulanya Manukabha) berarti burung yang sangat indah karena tampan dan indah raut roman muka dan bentuk raganya. Adiknya bernama Ida Wiyatan atau Ida Wetan berarti fajar menyingsing.


BANYUWANGI
Kemudian Dang Hyang Dwijendra pindah pula dari Pasuruan ke Brambangan (banyuwangi) disertai oleh empat orang putra-putrinya namun istrinya tidak disebutkan turut. Tiada beberapa lama antaranya Dang Hyang Nirartha mengambil istri di sana yaitu adik dari Sri Aji Juru-Raja Brambangan bernama Sri Patni Kaniten yang sungguh-sungguh cantik molek rupanya sehingga terkenal dengan sebutan ‘jempyaning ulangun’, yaitu sebagai obat penawar jampi orang yang kena penyakit birahi asmara

Beliau itu turunan raja-raja (dalem) dan turunan Brahmana, terhitung buyut dari Dang Hyang Kresna Kepakisan di Majapahit, putri dari raja Brambangan kedua. Saudara adik dari raja Brambangan ketiga yang menjadi raja ketika itu, tegasnya bersaudara kumpi sepupu Dang Hyang Nirartha kepada Sri Patni Kaniten. Perkawinan ini menghasilkan tiga orang anak, seorang putri dan dua orang putra. Yang sulung seorang putri bernama Ida Rahi Istri rupanya cantik dan pandai dalam ilmu kebatinan; yang kedua bernama Ida Putu Wetan atau Telaga atau disebut juga Ida Ender (yang berarti ugal-ugalan) karena terkenal pandainya, kesaktiannya, dan ahli ilmu gaib. Banyak tulisan buah tangannya. Yang bungsu bernama Ida Nyoman Kaniten


MENINGGALKAN JAWA MENUJU PULAU BALI
Pada awal tahun 1537, Ia meninggalkan kota Blambangan bersama dengan keluarganya untuk menjadi kepala penasihat Raja Gelgel, Dalem Baturenggong. Ia meninggalkan wilayah kerajaan Blambangan setelah salah satu istri dari majikannya jatuh cinta kepadanya. Kejadian ini memicu keberangkatannya meninggalkan pulau Jawa. Beberapa legenda menuliskan bahwa perjalannya dari Jawa ke pulau Bali dilakukan dengan menduduki labu, hal ini mengakibatkan penilaian tabu di lingkungan Brahmin Bali akan konsumsi labu.

Setelah kedatangannya di Bali, ia tiba di lingkungan kerajaan Raja Dalem Baturenggong. Bertepatan dengan masa dimana Bali sedang dijangkiti oleh berbagai penyakit dari tahun-tahun sebelumnya, Nirartha memberikan sebagian rambutnya kepada raja dan menyatakan bahwa hal tersebut akan menghapus penderitaan. Rambut ini ditempatkan di sebuah kuil yang kemudian menjadi tempat ziarah umat Hindu di Bali.

ORANG SUCI SEKALIGUS ARSITEK
Nirartha merupakan pencipta arsitektur padmasana untuk Pura Hindu di Bali. Semasa perjalanan Nirartha, jumlah Pura-Pura di pesisir pantai di Bali bertambah dengan adanya padmasana.

Ia juga menciptakan sistem tiga-Pura untuk desa-desa di Bali. Pura untuk Brahma di utara, Wisnu di bagian tengah dan sebuah Pura untuk Siwa di bagian selatan desa. Sistem ini digunakan untuk memperkokoh konsep Dewa Trimurti dalam agama Hindu.
dari berbagai sumber
http://id-id.facebook.com/notes/negara-bali-club/sejarah-dang-hyang-nirartha/180650278665173
http://id.wikipedia.org/wiki/Dang_Hyang_Nirartha

Candi Gedong Songo, Menyatu Dengan Alam & Mendekat Pada Tuhan

menyatu dengan alam
Candi Gedong Songo, yang berarti sembilan candi dengan lokasi yang paling tinggi adalah candi dengan angka paling besar. Kata Gedong berarti bangunan dan songo berarti sembilan sehingga kurang lebih berarti candi yang berjumlah sembilan. Candi yang terletak di Gunung Ungaran dengan ketinggian 1200 – 1800 meter diatas permukaan laut ini memang sangat unik. Pada awalnya disebut Gedong Pitoe karena pertama kali ditemukan oleh Rafles hanya terdiri dari tujuh bangunan candi. Namun kemudian ditemukan dua candi lagi walaupun dalam keadaan tidak utuh. Candi-candi yang terbuat dari batu andesit tersebut telah dipugar oleh Dinas Purbakala, yaitu candi I & II dipugar tahun 1928 – 1929, sedangkan candi III, IV, V dipugar tahun 1977 – 1983.

Candi-candi yang terletak di Gunung Ungaran ini diyakini sebagai Candi Hindu dengan ditemukannya arca-arca Hindu yang terletak didalam dan disekitar lokasi candi. Diantaranya dengan ditemukannya arca Ciwa Mahadewa, Ciwa Mahaguru, Ganeca, Durga Mahisasura Mardhini, Nandi Swara, Mahakala dan Yoni yang ada di bilik candi. Keistimewaan yang lain dari Candi Gedong Songo adalah terletak pada arca gajah dalam posisi jongkok di kaki Candi Gedong III, dan Yoni dalam bentuk persegi panjang pada bilik Candi Gedong I.

Mengenai kapan berdirinya Candi Gedong Songo tidak ada yang tahu pasti, namun diperkirakan oleh para ahli bahwa candi-candi tersebut telah dibuat semasa dengan Candi Dieng yang dibuat pada kurun waktu abad VII – IX Masehi pada masa Dinasti Syailendra. Hal ini diketahui dari artefak-artefak yang ditinggalkan di sekitar lokasi candi, serta adanya kemiripan-kemiripan fisik antara Candi Gedong Songo dan Candi Dieng. Lokasi kedua candi yang terletak di ketinggian gunung semakin menambah keyakinan bahwa kedua candi tersebut dibangun pada masa yang sama.

dari berbagai sumber

Selasa, 13 September 2011

Makna Warna Merah dan Putih Menurut Hindu

Merah dan Putih, dwiwarna ini selalu hadir di dalam sejarah penting bangsa Indonesia. Sebelum masuknya pengaruh Eropa dan era kolonialisme Belanda, kerajaan-kerajaan di Nusantara telah menggunakan bendera berwarna merah dan putih secara berdampingan dan sejajar. Bukti yang paling kuat adalah bahwa Kerajaan Majapahit telah menggunakan dwiwarna ini sebagai lambangnya dan kerajaan inilah yang berhasil menyatukan seluruh Nusantara pada sekitar akhir abad ke-13 pada saat pemerintahan Raja Hayam Wuruk dan didampingi oleh Patih Gadjah Mada. Pada saat itu jumlah Merah Putih yang digunakan sebagai bendera Majapahit adalah sembilan garis. Wilayah Nusantara yang dikuasai oleh Majapahit diduga hampir sama, bahkan kalau tidak salah, lebih besar daripada Republik Indonesia saat ini. Pada saat akhir-akhir masa kejayaan Majapahit, kebesaran makna dwiwarna Merah dan Putih mulai dilupakan dan saat itu mulai muncul kerajaan-kerajaan Islam yang tidak lagi menggunakan warna Merah Putih dan pada akhirnya Nusantara menjadi koloni Belanda selama kurang lebih 350 tahun.
Peta wilayah kekuasaan Keraton Majapahit
Nilai-nilai bahwa Merah Putih adalah seperti jiwa dan raga yang tidak dapat dipisahkan bisa jadi merupakan alasan utama mengapa Majapahit mengambilnya. Pada saat itu agama yang dianut oleh kerajaan besar Nusantara ini adalah Hindu, yang kita ketahui mempercayai adanya keseimbangan di dalam alam semesta dan kedua warna ini dianggap mewakilinya. Dwiwarna yang tidak dapat dipisah-pisahkan dan akan selalu berdampingan hingga akhir jaman. Di dalam kebudayaan Hindu yang tercerminkan di dalam hasil-hasil karya seni, warna-warna utama memiliki arti tersendiri dan memiliki peranan penting dalam simbolisasi ajaran Hindu.

Warna merah adalah warna yang sangat penting di dalam kebudayan Hindu. Ritual-ritual keagamaan pada upacara pernikahan, kelahiran, dan juga kematian selalu menggunakan warna merah. Warna merah di dalam Hindu melambangkan Shakti atau daya tahan serta kompetensi. Warna putih adalah warna yang dihasilkan dari campuran tujuh warna utama dan kekuatan semua warna terbagi rata di dalam warna putih ini. Arti dari warna putih di dalam ajaran Hindu adalah kesucian, kebersihan, perdamaian, dan pengetahuan. Dewi pengetahuan Hindu, Saraswati, selalu digambarkan menggunakan baju berwarna putih dan duduk di atas bunga teratai berwarna putih.

diolah dari: http://ngobrolpolitik.wordpress.com/2011/03/26/sang-saka-merah-putih/

Senin, 12 September 2011

Batara Kala, Siapakah Beliau?

Wujud Kepala Batara Kala di Candi Jago
Pernah menonton acara komedi berjudul Opera van Java? Kalau pernah, mungkin anda pernah menonton salah satu seri-nya yang memainkan peran tokoh Batara Kala. Nah, siapakah Batara Kala?

Dalam ajaran agama Hindu, Kālá (Devanagari: कल) adalah putera Dewa Siwa yang bergelar sebagai dewa penguasa waktu (kata kala berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya waktu). Dewa Kala sering disimbolkan sebagai rakshasa yang berwajah menyeramkan, hampir tidak menyerupai seorang Dewa. Dalam filsafat Hindu, Kala merupakan simbol bahwa siapa pun tidak dapat melawan hukum karma. Apabila sudah waktunya seseorang meninggalkan dunia fana, maka pada saat itu pula Kala akan datang menjemputnya. Jika ada yang bersikeras ingin hidup lama dengan kemauan sendiri, maka ia akan dibinasakan oleh Kala. Maka dari itu, wajah Kala sangat menakutkan, bersifat memaksa semua orang agar tunduk pada batas usianya. Kālá selain berarti waktu juga berarti hitam, bentuk feminimnya adalah Kālī. Dalam satuan waktu tradisional Hindu, satu kala adalah 144 detik.
Wujud Tokoh Batara Kala dalam Pewayang Jawa
 http://id.wikipedia.org/wiki/Batara_Kala

Minggu, 11 September 2011

(Jawa) DANDANGGULA by Adi Suripto

DANDANGGULA
Tembang :

Jroning nampa pepesthen puniki
Wajibira mung nuhoni dharma
Apan wus dadi kodrate
Lelaku jro lumaku
Titi tata tatag ing batin
Nggayuh yuning bebrayan
lahir trusing kalbu
Mula lumaku makarya
Antepira sepi pamrih lahir bathin
Makarya tan akarya


[Dharma Kinidung - Karya Adi Suripto]

Arti :

Di dalam kita menjalani kehidupan ini, sesuai dengan kodratnya, kita hanya “nuhoni dharma”. Melaksanakan kewajiban sesuai kodrat kita sebagai manusia, karena itu dalam setiap perbuatan yang dilakukan, kita harus menyadari untuk bekerja dan terus bekerja, dan semuanya itu tanpa pamrih.  Dapat diumpamakan sebaga “makarya tan akarya”, artinya kita berbuat sesuatu, tetapi tidak merasa membuat sesuatu yang kita harapkan hasilnya. Dalam ungkapan bahasa jawa biasa disebut “sepi pamrih rame gawe”.

Sakehing kan dumadi makardi
Lir Hyang Widhi kan tansah makarya
Nguribi jagad tan leren
Surya, candra lan bayu
Bhumi tirta kalawan agni
Paparing panguripan
Mring pamrih wus mungkur
Anane nuhoni dharma
Iku dadya "sastra cetha" tanpa tulis
Nulat lakuning alam


Semua yang ada ini bekerja
Bahkan Tuhan pun bekerja
Menghidupi dunia ini tanpa henti Matahari, bulan, angin,
Bumi, air dan api semua bekerja demi kelangsungan hidup, dan tanpa pamrih.
Dasarnya hanyalah merasa wajib. Alam adalah "ilmu nyata"
Kita wajib meniru dharmanya


sumber: http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=24&Itemid=29

Dari makna yang tersirat dari tembang tersebut, nampak jelas sekali bahwa pengejawantahan falsafah Jawa sebagaimana ditunjukkan umat Hindu di Jawa merupakan refleksi atas pemahaman dan pengalaman terhadap apa yang disebutkan sebagai "sastra cetha tanpa tulis" (ilmu nyata).

Ida Pedanda Gede Made Gunung

Sosok Ida Pedanda Gede Made Gunung belakangan banyak diperbincangkan umat Hindu. Tokoh Hindu yang satu ini dinilai banyak kalangan memiliki pemikiran yang jauh kedepan, trampil dalam "menerjemahkan" tatwa agama dengan bahasa yang jelas dan lugas serta memiliki rasa humor yang tinggi. Pedanda yang dilahirkan di Gria Gede Kemenuh Purnawati ini, seolah - olah mengubah citra Pedanda (Pendeta Hindu) dari sekedar muput karya (memimpin pelaksanaan upacara), menjadi pemberi Dharma Wacana, disamping tentunya juga muput karya. Tidak mengherankan jika wajah beliau acapkali muncul di berbagai media, baik media elektronik maupun media cetak,  untuk memberikan dharma wacana (wejangan suci) kepada umat Hindu. Beliau memberikan dharma wacana tidak hanya di Bali, tetapi juga di luar bali seperti Jakarta hingga ke Kalimantan. Beliau juga sempat matirta yatra ke India bersama Dr.Somvir.

Setelah menamatkan SD (1965) di Blahbatuh dan SMPN (1968) di Gianyar, beliau lalu melanjutkan pendidikan ke Taman Guru Atas (1971) di Sukawati. Beliau kemudian bekerja sebagai Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB) Gianyar (1972 - 1974), lalu menjadi guru SD di mawang Ubud (1975 - 1983) dan selajutnya pindah ke SD 7 Saba (1987 - 1994). Tahun 1992 beliau sempat mendapat peringkat sebagai guru teladan Kecamatan Blahbatuh. Disela -sela kesibukan sebagai guru, beliau melanjutkan pendidikan di Institut Hindu Dharma (IHD) hingga memperoleh gelar Sarjana Muda pada tahun 1986. Beliau Madiksa atau menjadi pedanda pada tahun 1994 dan sejak tahun 2002 sampai sekarang beliau menjadi dosen luar biasa di almamaternya di Fakultas Usada Universitas Hindu Indonesia, sebutan IHD sekarang.

Selain itu beliau juga aktif dalam kegiatan organisasi sejak akhir tahun 1960-an. Mula - mula di bidang olah raga, menjadi pemain voli seleksi PON Bali, menjadi pelatih karate (sabuk hitam), dan kemudian organisasi keagamaan. Mula - mula beliau aktif di Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) kecamatan Blahbatuh, PHDI Gianyar (1989-1994) PHDI Bali (1994-2001) dan PHDI Bali versi Campuhan (2001-2006).

Catatan Sebelum Madiksa
Dua tahun sebelum madiksa (menjadi pendeta), beliau sudah mulai membenahi pola pikir, perkataan dan perbuatan sebagai persiapan memasuki dunia kependetaan. Suatu hari, kira-kira 4 bulan sebelum madiksa, beliau pergi mengunjungi Rumah Sakit Sanglah untuk melihat mereka yang  dirawat disana, beliau ingin merasakan bagaimana kondisi dan penderitaan mereka yang sedang sakit , beliau juga berjalan mengunjungi UGD, mengunjung bangsal - bangsal yang lain hingga berakhir di depan kamar mayat. Setelah itu beliau mengunjungi Rumah Sakit Wangaya untuk tujuan yang sama. Beliau juga mengunjungi Super Market, sekedar untuk melihat bagaimana anak - anak bermain dan menikmati santapan. Disana beliau sempat diikuti oleh satpam, yang barangkali merasa agak janggal karena melihat beliau yang berjenggot, berambut panjang dan menggunakan destar datang ke tempat seperti itu dan seperti dengan tujuan yang tidak jelas. Setelah itu beliau mengunjungi super market yang lain yang baru saja di buka. Beliau tidak mengunjungi diskotik atau tempat hiburan yang lain karena untuk mengunjungi tempat seperti itu harus membayar terlebih dahulu. Setelah itu beliau melanjutkan perjalanan ke pasar burung, mendengarkan kicauan burung dan melihat berbagai jenis peliharaan yang dijual disana. Disamping itu beliau juga pernah ikut menjadi sopir truk mengikut temany beliau yang menjadi sopir truk untuk mengirim pasir dari Klungkung ke daerah lain di Bali. Beliau melakukan itu untuk mengetahui bagaimana rasanya menjadi sopir truk. Setelah beliau merasa sudah cukup, mulailah beliau menyusun program tangkil (menemui) para sulinggih (pendeta) se-Bali. Dalam buku harian beliau, tercatat beliau pernah tangkil kepada 325 sulinggih.

Untuk apa beliau melakukan semua itu? Beliau mengatakan semua itu sebagai persiapan mental untuk memasuki dunia kependetaan. Seperti merintis sebuah bangunan, sebelum memulai membangun seseorang perlu melihat berbagai model bangunan yang ada sebagai perbandingan dalam merencanakan bangunan yang baru. Unsur-unsur yang cocok ditiru, yang kurang cocok dipelajari dan seterusnya. Dan ternyata semua yang beliau dapat dari pengalaman tersebut sangat mendukung tugas-tugas yang harus beliau emban sekarang. Semua babonnya dari sana. sebuah contoh sederhana, begitu menjadi Pedanda, banyak orang yang tangkil dan semuanya bermacam-macam. Ada yang halus dan adakalanya agak emosional. Semua harus dihadapi dengan sabar. Tidak mungkin dihadapi dengan kekerasan dan main pukul seperti sewaktu beliau menjadi pelatih karate dulu. Kalupun sekarang beliau memukul, tidak menggunakan pukulan fisik tetapi pukulan rohani. Tingkat kerohanian akan berjalan baik apabila didukung oleh pengalaman, mental dan fisk yang kuat.

Beliau mengatakan bahwa tujuan utama beliau untuk menjadi Pedanda bukat semata hanya untuk muput yadnya, melainka senantias meningkatkan kualitas kerohanian atau Dharma Agama. Muput yadnya baru dilaksanakan kalu ada orang yang ngaturang, dalam arti kalau ada yang datang diterima kalu tidak ada tidak apa-apa. Seperti air pancuran, ada atau tidak orang yang datang untuk mengambil air, pancurannya tetap akan mengalir.

http://idapedandagunung.com/content/view/12/28/

Romo Pandita Rsi Gunawan Patrakusuma Keniten (wafat 2004)

Pandita asal Jawa yang dilahirkan 64 tahun lalu itu merupakan pandita yang tak kenal lelah dalam membina umat Hindu Jawa, khususnya Jawa Tengah. Abhiseka “Patrakusuma Keniten” sebagai nama diksa, karena beliau adalah penerus leluhur beliau dari pasraman keluarga besar Patrakusuma Keniten (pada jaman Kediri); yang merupakan keturunan raja Kediri, Prabu Jayabaya. Ketika belum melaksanakan dwijati, beliau dikenal dengan nama Romo Munaji yang malang melintang di Jawa. Sang Romo memang mengagumkan, tak pernah jauh dari umatnya, selalu hadir dalam pertemuan, terutama dalam setiap forum-forum pemuda Hindu.

Meninggal Di Jakarta
Senin Pon Wuku Ugu, 26 April 2004, pukul 23.13, Romo Pandita Rsi Gunawan Patrakusuma Keniten telah meninggalkan kita untuk selamanya. Beliau wafat setelah dirawat selama kurang lebih 3 bulan di RS Dharmais, Jakarta. Tahun sebelumnya, Pandita Istri telah lebih dahulu meninggalkan kita selamanya, dan tahun ini kembali umat Hindu Nusantara kehilangan putra terbaiknya, dengan meninggalkan keteladanan dan semangat juang luar biasa.

Dengan kerjasama berbagai tokoh dan masyarakat Hindu di Jakarta, upacara perabuan dilaksanakan pada Selasa Wage, 27 April 2004 di Krematorium Cilincing, Jakarta Utara. Dengan iringan musik gamelan angklung dan kidung pralina Jawa karya Adi Suripto, hadir ratusan umat Hindu berbagai etnis dari wilayah-wilayah se- Jabotabek mengiringi jalannya upacara itu.

Pada saat atman telah meninggalkan jasad-pun, Romo masih memberikan kejutan dan kesan tak terlupakan, karena pada saat jasad Romo dikremasi, tulang diatas mata ketiga tertulis jelas huruf Jawa Kuno, tak jauh dari dugaan, sebagai bukti pemuja Tuhan yang tekun, sehingga berkenan memberikan huruf-huruf sucinya, yang tak terhapuskan oleh Sang Agni.

http://hindunusantara.blogspot.com/

Sejarah Kerajaan Sunda

Kerajaan Sunda terletak di daerah Jawa Barat sekarang. Tak dapat dipastikan dimana pusat kerajaan ini sesungguhnya. Berdasarkan sumber sejarah berupa prasasti dan naskah-naskah berbahasa Sunda Kuno dikatakan bahwa pusat kerajaan Sunda telah mengalami beberapa perpindahan. Menurut Kitab Carita Parahyangan, Ibukota kerajaan Sunda mula-mula di Galuh, kemudian menurut Prasasti Sanghyang Tapak yang ditemukan di tepi sungai Cicatih, Cibadak Sukabumi, Isi dari prasasti itu tentang pembuatan daerah terlarang di sungai itu yang ditandai dengan batu besar di bagian hulu dan hilirnya. Oleh Raja Sri Jayabhupati penguasa kerajaan Sunda. Di daerah larangan itu orang tidak boleh menangkap ikan dan hewan yang hidup di sungai itu. tujuannya untuk menjaga kelestarian lingkungan (agar ikan dan lain-lainnya tidak punah).

Kerajaan Sunda beribu kota di Parahyangan Sunda. Sementara itu menurut prasasti Astana Gede (Kawali – Ciamis) ibu kota kerajaan Sunda berada di Pakwan Pajajaran. Mengenai perpindahan kerajaan ini tak diketahui alasannya. Akan tetapi, hal-hal yang bersifat ekonomi, keamanan, politik, atau bencana alam lazim menjadi alasan perpindahan pusat ibu kota suatu kerajaan.

Kerajaan Sunda menguasai daerah Jawa Barat untuk waktu yang lama, diantara rajanya, yang terkenal adalah Jaya Bhupati dan Sri Baduga Maharaja.

Jayabhupati
Sebenarnya nama Sunda pernah disebut didalam prasasti yang temukan di desa Kebon Kopi Bogor. Prasasti itu berangka tahun 854. Prasasti itu ditulis dengan bahasa Melayu Kuno, isinya tentang seorang Rakrayan Juru Pengambat yang memulihkan raja Sunda. Sumber kesusastraan yang sampai kepada kita adalah Carita Parahyangan (dari akhir abad ke-16) kitab lain yang juga menyebut kerajaan Sunda adalah Kitab “Siksa Kandang Karesia” (1518), berita Cina dari masa Dinasti Ming menyebut adanya kerajaan Sunda.

Didalam kita Carita Parahyangan disebutkan bahwa kerajaan itu memerintah seorang raja bernama Sanjaya. Tokoh itu dikenal juga dalam prasasti Canggal dari Jawa Tengah. Dalam kitab Carita Parahyangan disebutkan bahwa Raja Sanjaya menggantikan raja Sena yang berkuasa di Kerajaan Galuh. Kekuasaan raja Sena kemudian direbut oleh Rahyang Purbasora, Saudara seibu raja Sena. Sena sendiri menyingkir ke gunung Merapi bersama keluarganya. Setelah dewasa, Sanjaya berkuasa di Jawa Tengah. Ia berhasil merebut kembali kerajaan Galuh dari tangan Purbasora. Kerajaan kemudian berganti nama menjadi kerajaan Sunda.
Setelah masa pemerintahan JayaBhupati, pada tahun 1350 yang menjadi raja di kerajaan Sunda adalah Prabu Maharaja. Ia mempunyai seorang putri bernama Dyah Pitaloka.

Prabu Maharaja berperang melawan tentara Majapahit yang dipimpin Gajah Mada di daerah Bubat pada tahun 1354. dalam pertempuran itu raja Sunda bersama-sama para pengiringnya terbunuh. Kematian Raja Sunda dan pengiringnya membuat raja Majapahit yaitu Hayam Wuruk, marah besar kepada Gajah Mada, lalu Gajah Mada dipecat dari jabatannya.

Sri Baduga Majaraja
Ia adalah putra dari Ningrat Kancana. Sri Baduga merupakan raja yang besar. Ia membuat sebuah telaga yang diberi nama Telaga Rena Mahawijaya. Ia memerintahkan membangun parit di sekeliling ibukota kerajaannya yang bernama Pakwan Pajajaran. Raja Sri Baduga memerintah berdasarkan kitab hukum yang berlaku saat itu sehingga kerajaan menjadi aman dan tenteram. Keterangan tentang Raja Sri Baduga dapat kita jumpai dalam prasasti Batutulis yang ditemukan di Bogor.

http://unsilster.com/2010/04/cerita-sejarah-kerajaan-sunda/

Pemujaan Bertahap


Yanti devavrataa devan
pitrn yanti pitrvrataah
bhutaaani yanti bhutejyaa
yanti madyaajino''pi maam.
(Bhagawad Gita IX. 25).

Artinya:
Penyembahan Deva-Deva akan sampai pada dewa, penyembahan leluhur akan sampai pada leluhur, penyembahan Bhuta akan sampai pada Bhuta. Mereka yang menyembah-Ku akan sampai pada-Ku.

SLOKA Bhagawad Gita ini sering menimbulkan salah pengertian. Seakan-akan umat Hindu, hanya menyembah Bhuta, atau menyembah leluhur, menyembah Dewa saja, atau menyembah Tuhan saja. Sistem penyembahan yang terpisah-pisah demikian itu tidak ada dalam pengamalan agama Hindu baik dalam tradisi Hindu di India maupun dalam tradisi Hindu di Indonesia.

Ini artinya dalam sistem pemujaan Hindu antara menyembah Bhuta, Pitra, Deva dan Brahmana (Tuhan) bukan merupakan sesuatu yang dikotomis atau sesuatu yang bertentangan. Hal itu tidak bermaksud kalau menyembah Tuhan bukan berarti dilarang menyembah Bhuta, Pitra dan Deva. Bhuta dalam pengertian ini bukanlah berarti setan, jin atau roh-roh jahat. Bhuta itu adalah alam ciptaan Tuhan yang dibangun dengan lima unsur Bhuta. Lima unsur Bhuta itu disebut Panca Maha Bhuta (pertiwi, apah, teja, bayu, dan akasa). Melakukan komunikasi rohani dengan semuanya itu digunakan istilah yadnya.

Yadnya kepada Bhuta, Pitra, Deva dan Tuhan itu salah satu wujudnya dalam bentuk bhakti, atau puja. Istilah bhakti dan puja itu dalam Bahasa Jawa Kuna diterjemahkan menjadi kata Sembah. Kata sembah dalam kamus Bahasa Jawa Kuna memiliki lima arti atau pengertian. Sembah berarti menyayangi atau mengasihi, menghormati, memohon, menyerahkan diri dan menyatukan diri.

Menyembah bhuta tentunya tidak seperti menyembah Tuhan dengan menyerahkan diri secara total. Menyembah bhuta artinya menyayangi atau mengasihi bhuta atau alam lingkungan dalam wujud bhuta yadnya. Menyembah bhuta, bukan berarti menyerahkan diri pada bhuta seperti menyembah Tuhan. Dalam Sarasamuscaya 135 disebutkan untuk menegakkan tujuan hidup mencapai dharma, artha, kama dan moksha terlebih dahulu harus melakukan bhuta hita. Bhuta hita artinya mensejahterakan alam. Manusia bisa hidup dari yadnya bhuta atau alam. Karena itu manusia wajib melakukan yadnya pada Bhuta. Karena itu dalam Lontar Panca Sembah dinyatakan menyembah Bhuta dengan mencakupkan tangan di pusar, bukan di atas ubun-ubun seperti menyembah Tuhan. Sikap menyembah ini melambangkan sikap untuk membangun kasih sayang pada alam lingkungan, yang disebut panca maha bhuta. Demikian juga menyembah leluhur (dewa pitara).

Menyembah leluhur yang telah suci dinyatakan dengan tegas dalam kitab suci Rgveda dan juga kitab-kitab Sastra Veda lainnya. Dalam kitab Rgveda ada tidak kurang dari 12 mantra yang menyatakan tentang pemujaan Leluhur. Hal itu dinyatakan dalam kitab Rgveda Mandala X, Sukta 15 dari mantra 1 sampai dengan Mantra 12.

Apalagi dalam kitab Manwa Dharmasastra banyak sekali sloka-sloka yang mengajarkan tentang pemujaan leluhur. Pemujaan leluhur banyak dinyatakan dalam Adyaya III kitab Manawa Dharmasastra. Dalam lontar-lontar di Bali sistem pemujaan leluhur atau Dewa Pitara banyak sekali kita jumpai petunjuk tehnisnya. Karena itu tidaklah benar ada sementara orang yang beragama Hindu dari Sampradaya tertentu yang menyatakan Hindu atau kitab Suci Weda tidak mengenal bahkan dikatakan tidak membenarkan adanya pemujaan leluhur. Karena sangat jelas petunjuknya terdapat dalam kitab suci Weda dan kitab-kitab Sastranya.
Di samping itu, pemujaan leluhur itu sudah sangat mentradisi berabad-abad dalam tradisi Hindu di seluruh dunia. Demikian pula tentang pemujaan Deva sinar suci atau manifestasi Tuhan. Dalam kitab Manawa Dharmasastra III.205 dengan tegas dinyatakan bahwa pemujaan kepada Dewa sinar suci Tuhan dilakukan setelah pemujaan kepada leluhur (dewa Pitara). Jadi semua sistem pemujaan itu adalah pemujaan yang bertahap menuju pemujaan yang tertinggi yaitu pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan yang Mahakuasa.

Sistem pemujaan bertahap ini tentunya berlaku untuk umat Hindu secara umum. Kalau ada orang-orang suci seperti Maha Resi yang tingkatannya sudah tinggi dapat saja melakukan pemujaan hanya kepada Tuhan. Beragama itu merupakan privasi seseorang, tentunya dalam pelaksanaannya sangat tergantung pada tingkatan pemahamannya pada agama yang dianutnya. Tetapi janganlah menyatakan dalam Weda tidak ada petunjuk tentang pemujaan leluhur.

Balipost 21 Februari 2001

Sabtu, 03 September 2011

Pura Parahyangan Agung Jagatkarttya Taman Sari Gunung Salak, Simbol Kerajaan Padjajaran (Jawa Barat)

Sampurasun,...
Om awignam astu namas sidam
Bhakti hamba pada karuhun
Leluhur ditanah Sunda
Yang menyatukan kami sejagat
Dumogi rahayu parahyangan Gunung Salak....
PROFIL 
Nama: Pura Parahyangan Agung Jagatkarttya Taman Sari Gunung Salak
Lokasi: Gunung Salak, Kampung Warung Loak, Desa Taman Sari, Kel, Ciapus, Bogor - JAWA BARAT
Status: Pura umum

Gunung Salak memang sulit untuk didaki. Itu tidak lepas dari sisi-sisi mistis yang menyelimutinya. Dan, ada sisi lain yang membuat gunung ini semakin disegani. Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran yang paling masyhur, pernah berada di gunung itu. Buktinya, sebuah tempat ibadah berdiri setelah sang prabu menurunkan wangsitnya.

Sejarah Hindu di tanah Sunda
Belum ada literatur yang bisa memastikan kapan agama Hindu masuk ke wilayah Jawa Barat. Tapi setidaknya telah ditemukan sejumlah bukti peninggalan Kerajaan Hindu di Jawa Barat yakni Tarumanegara dengan rajanya yang terkenal Purnawarman.
Gerbang masuk utama Pura
Sebagian peninggalan itu diantaranya kini tersimpan di Museum Nasional Jakarta. Jejak kaki sang raja bahkan tercetak pada sebuah batu yang lalu dikenal sebagai prasasti Ciaruteun.
Pura yang menyatu dengan alam.
Jejak kaki Raja Purnawarman ini diibaratkan seperti telapak kaki Dewa Wisnu, salah satu dewa umat Hindu. Di Museum Nasional juga terdapat prasasti Tugu. Prasasti Hindu tertua yang ditemukan di Pulau Jawa.
Dalam prasasti Tugu yang diperkirakan berasal dari tahun 450 Masehi ini misalnya, penunjukkan Prabu Purnawarman dari Tarumanegara pernah memerintahkan penggalian saluran terusan sungai dari Bekasi ke Pelabuhan Sunda Kelapa untuk sistem pengairan dan membuka jalur pelayaran ke pedalaman.
Pada akhir abad ke VII, Kerajaan Tarumanegara diduga hancur takluk pada Kerajaan Sri Wijaya. Baru pada awal abad ke 14 hadir kembali Kerajaan Hindu Sunda yang cukup kuat dibawah kepemimpinan Prabu Siliwangi. Yakni Kerajaan Padjadjaran dengan ibukotanya terletak disekitar Pakuan yang kini dikenal sebagai kota Bogor.

Tempat Prabu Siliwangi Menghilang
Candi untuk menghormati Prabu Siliwangi beserta para prajuritnya yang konon menjelma menjadi Macan yang menjaga tanah Sunda.
Konon, dulu sering ada hal-hal gaib yang terjadi di wilayah ini yang berhubungan dengan Prabu Siliwangi, raja masyur dari Kerajaan Hindu terakhir di Jawa Barat. Ada yang percaya di tempat Pura ini berdiri adalah tempat Prabu Siliwangi menghilang bersama para prajuritnya. Hingga akhirnya sebelum membangun pura, umat Hindu lalu memutuskan untuk membangun terlebih dulu candi dengan patung macan berwarna putih dan hitam. Sebagai penghormatan terhadap Kerajaan Padjadjaran, Kerajaan Hindu terakhir di tanah Parahyangan.

Wangsit Prabu Siliwangi
Lukisan yang menggambarkan sosok Prabu Siliwangi.
"Semua keturunan kalian akan aku kunjungi, tetapi hanya pada waktu tertentu saja dan saat diperlukan. Aku akan datang lagi, menolong yang perlu dan membantu yang susah, tapi hanya mereka yang baik budi pekertinya. Apabila aku datang tak akan terlihat; apabila aku berbicara tak akan terdengar. Memang aku akan datang tapi hanya untuk mereka yang baik hatinya, mereka yang mengerti dan satu tujuan, yang mengerti tentang harum sejati juga mempunyai jalan pikiran yang lurus dan bagus tingkah lakunya. Ketika aku datang, tidak berupa dan bersuara tapi memberi ciri dengan wewangian. Semenjak hari ini, Pajajaran hilang dari alam nyata. Hilang kotanya, hilang negaranya. Pajajaran tidak akan meninggalkan jejak, selain nama untuk mereka yang berusaha menelusuri. Sebab bukti yang ada akan banyak yang menolak! Tapi suatu saat akan ada yang mencoba, supaya yang menghilang (ngahyang) bisa ditemukan kembali. Bisa saja, hanya menelusurinya harus memakai dasar (batin yang kuat). Namun sayang yang menelusurinya banyak yang sok pintar dan sombong bahkan berlebihan bicaranya."


dari berbagai sumber

Burung Garuda

Garuda adalah seekor burung mitologis, setengah manusia setengah burung, wahana Wisnu. Ia adalah raja burung-burung dan merupakan keturunan Kaśyapa dan Winatā, salah seorang putri Dakṣa. Ia musuh bebuyutan para ular, sebuah sifat yang diwarisinya dari ibunya, yang pernah bertengkar dengan sesama istri dan atasannya, yaitu Kadru, ibu para ular.
Sinar Garuda sangat terang sehingga para dewa mengiranya Agni (Dewa Api) dan memujanya. Garuda seringkali dilukiskan memiliki kepala, sayap, ekor dan moncong burung elang, dan tubuh, tangan dan kaki seorang manusia. Mukanya putih, sayapnya merah, dan tubuhnya berwarna keemasan.

Ia memiliki putera bernama Sempati (Sampāti) dan istrinya adalah Unnati atau Wināyakā. Menurut kitab Mahabharata, orang tuanya memberinya kebebasan untuk memangsa manusia, tetapi tidak boleh kaum brahmana. Suatu ketika, ia menelan seorang brahmana dan istrinya. Lalu tenggorokannya terbakar, kemudian ia muntahkan lagi.

Garuda dikatakan pernah mencuri amerta dari para dewa untuk membebaskan ibunya dari cengkeraman Kadru. Kemudian Indra mengetahuinya dan bertempur hebat dengannya. Amerta dapat direbut kembali, tetapi Indra luka parah dan kilatnya (bajra) menjadi rusak.

http://id.wikipedia.org/wiki/Garuda

Kamis, 01 September 2011

Pura Giri Selaka, Banyuwangi - Jawa Timur

Pura ini ditemukan tak sengaja oleh warga sekitar pada 1967. Saat itu, masyarakat Kecamatan Tegaldlimo melakukan perabasan terhadap sejumlah kawasan hutan Alas Purwo untuk bercocok tanam. Daerah di sekitar pura pun tampak cukup makmur dengan hasil palawijanya. Suatu ketika, di tempat berdirinya Pura Alas Purwo yang oleh masyarakat disebut Situs Alas Purwo, ada sebuah gundukan tanah.
Gerbang masuk hutan Alas Purwo
Masyarakat ingin meratakan dan menjadikan lahan cocok tanam. Tanpa diduga, ada bungkahan-bungkahan bata besar yang masih tertumpuk. Persis seperti gapura kecil. Lantas masyarakat sekitarnya membawa bungkahan bata-bata itu ke rumahnya. Ada yang menjadikan bahan membuat tungku dapur, ada juga untuk membuat alas rumah. Rupanya, keluguan masyarakat itu telah menyebabkan munculnya musibah bagi warga yang mengambil bata-bata tersebut.

Selang beberapa saat setelah mengambil bata itu, semuanya jatuh sakit. Pada saat itulah, ada sabda agar bongkahan batu bata tersebut dikembalikan ke tempatnya semula. Bongkahan-bongkahan itu adalah tempat petapakan maharesi suci Hindu zaman dulu. Meski belum ada catatan resmi dalam prasasti, masyarakat mempercayai yang malinggih di situs Pura Alas Purwo adalah Empu Bharadah. Tetapi, ada juga yang menyebut Rsi Markandiya sebelum mereka menuju Bali. Selanjutnya, masyarakat setempat sangat yakin dengan kekuatan dan kesucian situs Alas Purwo tersebut. Sampai ada keinginan seorang warga untuk memagari situs itu agar aman dari jangkauan orang jahil. Akan tetapi, belum sampai tuntas mewujudkan keinginannya, warga tersebut keburu meninggal.

http://www.betngandang.com/kegiatan/35-kegiatan/59-tirta-yatra-ke-pura-di-kawasan-banyuwangi

Pura Agung Blambangan, Terbesar di Banyuwangi (Jawa Timur)


Pura Agung Blambangan, awalnya merupakan situs umpak songo, peninggalan zaman kerajaan blambangan. Pura agung blambangan, terletak di desa tembok rejo kecamatan muncar kabupaten Banyuwangi. Perjalanan ke lokasi ini, menempuh waktu selama kurang lebih satu jam, dari pelabuhan ketapang, Banyuwangi.
suasana peresmian Pura Agung Blambangan, 1980

Pura Agung Blambangan merupakan pura terbesar diantara 92 buah pura lainnya yang ada di banyuwangi dan telah diresmikan hari sabtu, tepatnya pada hari raya Kuningan, 28 juni 1980.

Pelataran Pura Agung Blambangan mempunyai Luas 1.375 m2, dan itu pun tidak cukup menampung Umat Hindu di Banyuwangi ketika melakukan persembahyangan bersama.

Padmasananya berketinggian 10,6 meter yang dikelilingi bangunan tembok sebelah Barat 37,6 meter, Utara 36,5 meter, Timur 37,6 meter dan Selatan 28 meter.

Biaya pembangunan pura Agung Blambangan seluruhnya mencapai Rp 6.135.708,- yang sumber dananya berasal dari Departemen Agama Rp.750.000,-, pemerintah daerah kabupaten Banyuwangi Rp.650.000,- dan sisanya dari swadaya masyarakat disana disamping dari darmawan lainnya.

Filosofi Burung Tingang Menurut Hindu Kaharingan

Suku Dayak, Kalimantan
Burung Tingang merupakan satwa langka yang terdapat di hutan rimba Kalimantan. Tercatat sebagai keturunan burung yang hidup sejak ribuan tahun lalu. Sejak lama burung tingang memang sudah menjadi salah satu burung yang “dipuja” dibanyak kebudayaan kuno, termasuk suku Dayak di Kalimantan. Burung tingang pada beberapa kebudayaan kuno menjadi bagian ritual religi yang melambangkan kebebasan, kesucian dan mithologi. Burung yang dianggap memiliki kekuatan gaib oleh suku dayak ini, Kini ia termasuk dalam daftar hewan yang dilindungi karena terancam punah.
Oleh karena itu hewan yang memiliki paruh yang cantik ini termasuk dalam satwa yang dilindungi di Indonesia. Burung Tingang ini memiliki ciri khas yang tersendiri antara lain; ukuran tubuh yang besar, kurang lebih dua kali ayam kampung dan memiliki paruh yang sangat besar menyerupai tanduk berwarna kuning gading, dari kepala sampai leher memiliki bulu yang seperti rambut manusia. Ekor memiliki warna yang memiliki makna tersendiri menurut orang dayak yaitu; putih,hitam dan putih. Dari kejauhan, burung ini dapat dikenali melalui suara yang parau lantang. Burung dengan ukuran tubuh yang sangat besar, dengan suara yang keras serta beberapa jenis memiliki warna tubuh yang mencolok, merupakan burung yang sangat jarang dijumpai.

Dalam kepercayaan umat hindu kaharingan, burung tingang memiliki makna tersendiri. Berdasarkan mithologi agama hindu kaharingan, di lewu batu nindan tarung (alam atas), Tingang Rangga Bapantung Nyahu (burung tingang) adalah  salah satu penciptaan Ranying Hatala melalui perubahan wujud Luhing Pantung Tingang (destar) yang dipakai oleh Raja Bunu ketika ia menerima Danum nyalung Kaharingan belum (Air Suci Kehidupan). Seperti yang terdapat dalam ayat-ayat kitab suci panaturan
Pasal 27 ayat 21
Hayak auh nyahu batengkung ngaruntung langit, homboh malentar kilat basiring hawun,Luhing pantung tingang basaluh manjadi Tingang Rangga Bapantung Nyahu”.

Bersama bunyi Guntur menggemuruh memenuhi alam semesta, petir halilintar menggetarkan buana, Luhing pantung tingang kejadian menjadi Tingang Rangga Bapantung Nyahu (burung enggang).

 Kemudian burung tingang tersebut tinggal dan menempati Lunuk Jayang Tingang Baringen Sempeng Tulang Tambarirang (Pohon Beringin), dimana pada saat Balian Balaku Untung wujud burung tingang itu memberkati kehidupan manusia melalui perjalanan Banama Tingang (perahu) untuk mendapatkan berkat dan karunia dari Ranying Hatala.

Oleh karena itu dalam setiap upacara basarah yang dilakukan oleh umat hindu kaharingan selalu terdapat dandang tingang (bulu ekor tingang) sebagai sarana pelengkap yang terdapat didalam sangku tambak raja mendapatkan bulau untung aseng panjang (berkat dan karunia-Nya) dari Ranying Hatala. Dilihat dari filsafat keagamaan hindu kaharingan sendiri dandang tingang memiliki makna simbolis didalam kehidupan umat manusia yaitu :
1. Warna putih dibagian atas, berarti alam kekuasaan Ranying Hatala beserta manisfestasi-manisfestasi-Nya.
2. Warna hitam di tengah, yaitu alam kehidupan manusia di pantai danum kalunen (dunia) yang penuh dengan rintangan dan cobaan.
3. Warna putih dibagian bawah, berarti alam kekuasaan Jatha Balawang Bulau.
Dari ketiga warna tersebutlah yang menjadi warna corak dalam kehidupan umat hindu kaharingan yang diaplikasikan dalam bhakti sebagai ucapan syukur kepada Ranying Hatala dan Jatha Balawang Bulau melalui berbagai upacara-upacara yang sering dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Umat hindu kaharingan meyakini bahwa dalam bulu ekor tingang tersebut terdapat suatu kekuatan gaib yang menjadi pedoman hidup yang berlandaskan dengan Lime Sarahan (Lima Pengakuan Iman) dalam meyakini segala kekuasaan Ranying Hatala dalam kehidupan di dunia ini.  

http://sudarwana-sakri.blogspot.com/2011/06/buat-umat-hindu-kaharingan-di-kal-teng.html