Kamis, 27 Oktober 2011

Pura Agung Gunung Tambora (Gunung Tambora, Sumbawa, NTB)

Pura Agung Tambora ini sangat terkait dengan Perjalanan Danghyang Nirarta dari kerajaan Daha menuju Tambora sekitar tahun 1478-1560. Hal itu menurut Dr.Soegioanto Sastrodiwiryo dalam bukunya berjudul: Danghyang Nirarta: Sebuah Dharmayatra (1478-1560) dari Daha ke Tambora, jauh sebelum Gunung Tambora meletus (1815) pada bulan Phalguna 1532 Masehi.

Danghyang Nirarta yang telah berusia 80 tahun setelah melaksanakan Dharmayatra di Pulau Lombok, memutuskan berlayar menuju Pulau Sumbawa menggunakan perahu, disertai nelayan Lombok yang pernah dibantu saat mereka terdampar di Mojok Batu (di pantai/pura Ponjok Batu-sekarang) di Singaraja. Selanjutnya, beliau melewati Teluk Taliwang hingga berlabuh di Teluk Sumbawa.

Kedatangan Danghyang Nirartha disambut Kepala Desa dan tokoh masyarakat setempat yang kebetulan saat itu kehidupan masyarakat di sana sedang kesusahan, akibat gagal panen akibat diserang hama penyakit. Atas permohonan kepala desa itu, akhirnya Danghyang Nirartha terpanggil membantu masyarakat petani dimaksud.
Beliau lantas memerintahkan masyarakat setempat untuk mengisi sawah dan ladangnya dengan padupaan yang berisi api dan kemenyan. Dengan memohon kepada Tuhan dan Dewa yang berstana di Gunung Tambora, keesokan harinya tiba-tiba hama penyakit berupa ulat dan belalang itu lenyap tanpa bekas. Karenanya, sejak itu masyarakat memanggil beliau dengan sebutan Tuan Semeru.

Mencermati sejarah Dharmayatra beliau, ada dua motivasi Danghyang Niratha melaksanakan Dharmayatra ke Pulau Sumbawa yakni, karena rasa kekaguman dan kerinduan yang mendalam untuk melihat Gunung Tambora ke dalam rasa keagamaannya membayangkan bagaimana Siwa (Tuhan) menjejakkan kakinya saat membangun tiga dunia. Beliau merasa bahwa jejak Siwa yang paling timur adalah Gunung Tambora. Beliau berharap agama Hindu masih bisa dipertahankan keajegannya di daerah ini.

Di samping itu,  adanya hasrat yang besar  untuk bertemu dengan kerabat leluhurnya  yang merupakan seorang Brahmana Siwa yang sebelumnya diutus dan ditugaskan Raja Majapahit (tahun 1344 Masehi) untuk menaklukkan raja-raja di Sumbawa.

Setelah armada Majapahit  di bawah pimpinan  Mahasenopati Nala berhasil menaklukkan raja-raja yang ada di pulau Sumbawa. Danghyang Nirartha berharap dapat bertemu dengan putra-putri beliau, atau setidaknya bisa bertemu dengan cucu seangkatannya.

Setelah mendapat informasi dari penduduk Sumbawa, bahwa kerabatnya telah lama meninggal, Beliau pun melanjutkan perjalanan ke Gunung Tambora, masuk ke Teluk Saleh melewati celah antara pulau Sumbawa dan pulau Moyo dan akhirnya sampai di pelabuhan di lereng selatan Gunung Tambora.

Saat itu, Gunung Tambora yang puncaknya tampak perkasa sesekali mulai mengeluarkan asap dan lidah api. Di pelabuhan itu, beliau kemudian disambut penghulu kaya dan rajin. Penghulu itu ternyata telah lama mendengar kehebatan beliau, karenanya begitu bertemu dengan beliau, penghulu itu memelas agar bersedia membantu menyembuhkan anaknya yang telah lama menderita suatu penyakit dan sangat sulit disembuhkan serta berbagai upaya dan usaha telah dilakukan tetapi satu pun tidak berhasil.

Selanjutnya Danghyang Nirartha mencoba mengobati dengan segala kemampuannya. Akhirnya anak penghulu itu pun berhasil dibantu. Sebagai ungkapan terima kasih penghulu itu merelakan anaknya diajak ke Bali. Selama berada daerah ini, Danghyang Nirartha kerap melakukan payogan. Salah satunya adalah di sekitar lokasi Pura Agung Gunung Tambora dimaksud. Seperti halnya di tempat lain, di manapun beliau pernah beryoga, tempat itu selalu menjadi tersohor karena biasanya tempat dimaksud mampu memancarkan aura spiritual yang sangat tinggi. Tak heran jika sebagian besar jejak perjalanan beliau, kini dibangun sebuah tempat yang megah serta banyak umat yang datang memohon anugrah sekaligus tuntunan spiritual beliau, tak terkecuali di Pura Agung Gunung Tambora yang mampu memancarkan aura kesejukan, kedamaian, dan ketenangan serta spiritual yang sangat kuat dan tinggi.

Tanjung Menangis
Setelah dirasa cukup menunaikan tugas sucinya, serta puas berada di daerah ini, lanjut Jro Mangku Gede Tambora yang mantan pengerajin perak dan emas ini,  beliau memutuskan kembali ke Bali. Namun, masyarakat di sana merasa sangat kehilangan dan sedih ketika beliau mengutarakan niatnya itu, bahkan sejumlah warga bersikeras agar beliau tetap berada di sana, tetapi itu tidak mungkin dilakukan. Akhirnya, dengan berat hati, masyarakat itu melepas kepulangan beliau dengan rasa haru dan sedih.

Sebagai rasa hormat dan bhaktinya kepada beliau, masyarakat lalu mengantar beliau beramai-ramai sekaligus berpisah di sebuah tanjung yang kemudian tanjung itu diberi nama Tanjung Menangis. Dinamakan seperti itu karena kepergian beliau diiringi dengan isak tangis.

Selanjutnya beliau kembali melalui pantai utara Lombok, dan pada April Icaka 1455 tiba di pelabuhan Kusamba serta langsung menuju ibukota Gelgel. Sampai di Bali, anak penghulu yang dibawa itu diberi nama Denden Sari. Setelah dewasa Denden Sari kemudian dinikahkan dengan cucunya Danghyang Nirartha bernama Ida Ketut Buruan Manuaba. Merekalah kemudian menurunkan Klen Manuaba sampai saat ini.
Lebih jauh Jro Mangku yang dikenal kaya pengalaman ini menjelaskan, Pura Gunung Tabora yang terletak di kaki Gunung Tambora tepatnya 146 Km dari Kota Dompu ini, merupakan Pura Kahyangan Jagat yang ada di NTB.  Pura ini sangat dikeramatkan umat Hindu di Kabupaten Bima, Dompu, dan Sumbawa serta penduduk lain di sekitar pura.

Setiap Pujawali yang jatuh pada Purnamaning Sasih Kasa, umat Hindu di tiga kabupaten dimaksud berduyun-duyun tangkil ngaturang sembah bakti memohon anugrah sekaligus tuntunan spiritual beliau, serta permohonan lainnya. Banyak permohonan pamedek yang dilakukan dengan penuh ketulusan dikabulkan oleh beliau, sehingga tak heran jika seiring berjalannya waku, terutama pada waktu dan hari-hari tertentu pura ini ramai dikunjungi umat Hindu bahkan umat non-Hindu dengan tujuan tertentu.

“Pura ini dibangun atas petunjuk Ida Peranda Gede Putra dari Griya Cempaka, Singaraja yang sedang melaksanakan tirtayatra ngetut pemargin Danghyang Nirarta ke Pulau Sumbawa. Lokasi pura ditentukan melalui petunjuk yang diterima Ida Peranda melalui konsultasi niskala dengan beliau yang berstana di pura ini, akhirnya di sinilah tempat yang paling tepat,” ujar Jro Mangku Gede Tambora menegaskan seraya menambahkan, bahwa lokasi di mana pura ini didirikan, diyakini sebagai tempat payogan Danghyang Nirartha saat melaksanakan dharmayatra di daerah ini.

http://baliaga.wordpress.com/2010/10/28/pura-agung-gunung-tambora/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar